Author: Profesor Madya Dr. Md. Asrul Nasid Masrom
Pembantu Dekan (Penelitian, Pembangunan dan Penerbitan), Peneliti Utama, Pusat Penyelidikan Pengurusan Infrastruktur Lestari dan Alam Sekitar (CSIEM). Fakulti Pengurusan Teknologi dan Perniagaan. UTHM. Malaysia
Author: Dr. Uus MD Fadli
Pembantu Rektor Kemahasiswaan dan Alumni. UBP Karawang. Indonesia.
BERITAPASUNDAN.COM – Industri konstruksi secara global dan di Malaysia masih terlihat bergantung pada metode tradisional meskipun permintaan akan transformasi digital meningkat dengan munculnya Kecerdasan Buatan (AI). Gelombang transformasi digital ini tidak hanya melanda negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, bahkan negara-negara Eropa, tetapi “demam AI” ini juga semakin menyebar di negara-negara berkembang seperti Thailand, Indonesia, dan Malaysia.
Di Malaysia, sektor konstruksi merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi, serta penyumbang tertinggi bagi produk domestik bruto (PDB) dan lapangan kerja negara itu. Ketika negara ini berusaha untuk mencapai tujuan Visi 2030, penggunaan teknologi mutakhir, termasuk AI, dipandang sebagai langkah penting untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi proses pengadaan konstruksi.
Namun, industri konstruksi di Malaysia menghadapi tantangan yang sama dengan organisasi lain di luar negeri.
Salah satu tantangan utama di Malaysia adalah ketergantungan industri pada metode pengadaan tradisional, seperti penawaran kompetitif dan kontrak negosiasi langsung, yang sering kali melibatkan dokumen dan proses manual. Penggunaan AI dalam proses ini berpotensi mengurangi beban administrasi, mengotomatiskan tugas rutin, dan meningkatkan akurasi perkiraan biaya dan risiko.
Baca juga: Prakiraan Cuaca Jawa Barat Sabtu Ini: Pagi Cerah, Sore Hujan
Namun, pergeseran ke pengadaan bertenaga AI akan membutuhkan pergeseran budaya yang signifikan, karena banyak pelaku industri masih ragu untuk mengganti praktik umum dengan solusi digital.
Selain itu, industri konstruksi di Malaysia, khususnya usaha kecil dan menengah (UKM), menghadapi keterbatasan infrastruktur dalam hal kesiapan digital. Masih banyak perusahaan yang kekurangan alat dan platform digital yang diperlukan untuk mengumpulkan dan menganalisis data yang dibutuhkan sistem AI.
Untuk mengatasi hal ini, inisiatif yang dipimpin pemerintah, seperti Program Transformasi Industri Konstruksi (CITP) 2021-2025, menekankan perlunya digitalisasi dan adopsi teknologi Industri 4.0, termasuk AI. Inisiatif ini penting dalam mempersiapkan sektor konstruksi Malaysia untuk mengintegrasikan AI dalam pengadaan konstruksi.
Pertimbangan lain yang cukup penting dalam konteks Malaysia adalah kerangka peraturan yang mengatur pengadaan konstruksi.
Sementara Malaysia telah membuat langkah dalam memodernisasi peraturan pengadaannya, termasuk upaya untuk mempromosikan transparansi dan akuntabilitas, masih ada kebutuhan untuk menetapkan pedoman yang jelas untuk penggunaan AI dalam pengadaan. Ini termasuk mengatasi masalah yang terkait dengan privasi data, akuntabilitas, dan implikasi dari keputusan hukum yang digerakkan oleh AI.
Baca juga: Era Baru Teknologi: Kacamata Pintar dan Neuralink Siap Gantikan Smartphone
Komitmen pemerintah Malaysia untuk mempromosikan digitalisasi dan inovasi sangat penting dalam mengatasi tantangan peraturan ini.
Perspektif global tentang AI dalam Pengadaan Konstruksi
Integrasi AI dalam pengadaan proyek konstruksi merupakan perubahan besar dalam laju implementasi industri konstruksi. Menurut laporan penelitian yang dilakukan oleh Mckinsey, aplikasi AI memiliki potensi untuk merampingkan proses, meningkatkan efisiensi, dan mengurangi risiko proyek. Tidak hanya itu, dengan aplikasi AI ini melalui analitik prediktif, manajemen kontrak dan estimasi biaya mampu menawarkan akurasi dan kecepatan dalam pengambilan keputusan.
Namun, terlepas dari keunggulan tersebut, industri konstruksi belum siap untuk menggunakan AI secara luas. Salah satu tantangan utama adalah budaya konservatif sektor konstruksi, yang masih cenderung dan mendukung metode pengadaan tradisional.
Pengambil keputusan juga sering dan masih skeptis tentang kemampuan AI, takut potensi perpindahan pekerjaan dan hilangnya kendali atas proses pengambilan keputusan yang akan dilakukan secara transparan. Selain itu, ada kurangnya keterampilan dalam penggunaan teknologi AI di antara para profesional yang terlibat dalam proses pengadaan, terutama sisi klien.
Tantangan kedua adalah masalah ketersediaan dan kualitas data. Efektivitas AI dalam pengadaan bergantung pada akses ke sejumlah besar data yang akurat dan relevan, seperti riwayat kinerja proyek, biaya material, dan catatan pemasok.
Dalam kebanyakan kasus, perusahaan konstruksi, terutama perusahaan kecil, mereka tidak memiliki infrastruktur digital yang lengkap untuk mengumpulkan dan menganalisis data tersebut. Hal ini terlihat telah membatasi utilitas solusi AI, karena mereka sangat bergantung pada kumpulan data yang komprehensif untuk memberikan wawasan yang akurat.
Selain itu, ketidakpastian hukum dan peraturan terkait penerapan AI dalam pengadaan konstruksi merupakan masalah yang perlu diuraikan. Kerangka pengadaan yang ada belum dilengkapi dengan pedoman komprehensif dalam penanganan risiko baru melalui penerapan AI, terutama isu-isu terkait penundaan proyek atau pembengkakan biaya. Isu ambiguitas hukum ini penting untuk memastikan keberhasilan upaya mengintegrasikan teknologi AI dalam pengadaan konstruksi di tingkat lokal dan global.
Bergerak Maju: Membangun Kesiapan untuk AI dalam Pengadaan
Untuk memastikan kesiapan industri konstruksi, baik di Malaysia maupun global, untuk menghadapi tantangan adopsi AI, beberapa strategi perlu diterapkan secara efektif. Pertama, ada kebutuhan akan program pelatihan komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan literasi digital bagi para profesional yang terlibat dalam pengadaan konstruksi.
Ini akan membantu mengurangi resistensi terhadap adopsi AI dengan menumbuhkan pemahaman tentang manfaat dan potensinya. Lembaga pemerintah, perusahaan swasta, dan lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam mengembangkan dan mempromosikan program tersebut.
Baca juga: Tanpa Disadari, Makanan Ini Bisa Tingkatkan Risiko Penyakit Jantung
Kedua, investasi infrastruktur digital sangat penting. Perusahaan konstruksi harus menggunakan sistem manajemen data modern dan platform berbasis cloud (komputasi awan) yang memungkinkan pengumpulan dan analisis data yang diperlukan agar sistem AI berfungsi secara efektif. Di Malaysia, inisiatif pemerintah yang sedang berlangsung yang bertujuan untuk meningkatkan transformasi digital di berbagai sektor sangat dibutuhkan.
Terakhir, pengembangan kerangka peraturan yang kuat penting dalam mengatasi ketidakpastian hukum terkait AI terutama dalam proses pengadaan. Pembuat kebijakan harus bekerja sama dengan pemangku kepentingan untuk menetapkan pedoman yang memastikan akuntabilitas, transparansi, dan perlindungan semua pihak yang terlibat dalam keputusan pengadaan yang digerakkan oleh AI.
Yang jelas kesiapan menghadapi tantangan aplikasi AI dalam pengadaan proyek konstruksi beragam. Meskipun AI menawarkan peluang besar untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi pengadaan, budaya konservatif industri, keterbatasan infrastruktur, dan ketidakpastian peraturan tetap menjadi rintangan utama dan perlu disempurnakan oleh semua pihak.
Dengan mengatasi tantangan ini melalui pelatihan yang ditargetkan, investasi infrastruktur, dan reformasi peraturan, Malaysia dan industri konstruksi internasional dapat sepenuhnya memanfaatkan potensi transformatif AI dalam pengadaan proyek. Sudah waktunya bagi para pelaku industri untuk berubah dan tidak seperti “katak di bawah cangkang” yang tidak berani menghadapi tantangan dan peluang yang ada di luar sana. (*)