DI INGATAN Kahfi Satria Darma (90), Chairil Anwar adalah semua tentang kesendirian, rokok, dan lembar-lembar kertas. Kita semua tahu, si binatang jalang ini lekat dengan rokok, dan sebagai penyair sudah pasti ia dekat dengan kertas. Namun, di semua buku yang memuat biografinya, Chairil tidak pernah dikisahkan sendirian. Ia dikelilingi banyak orang, selalu ingin jadi pusat perhatian. Apa yang sebenarnya menimpa Chairil di Karawang?
Chairil Anwar sudah ada di Karawang sejak November 1945. Namun ia tidak menetap. Ia bolak-balik ke Jakarta. Di buku berjudul Chairil, karangan Hasan Asphanani, motif Chairil ke Karawang sama dengan motif pemuda pejuang lain di Jakarta. Ketika itu, kondisi di Jakarta sedang mencekam. Belanda dan Sekutu terus melakukan agresi dan memukul mundur para pejuang ke pinggiran Jakarta. Salah satunya ke Karawang. Di Karawang, juga Bekasi, tentara republik yang baru lahir dan tertatih-tatih, dibantu para pejuang, sudah lebih dulu mendirikan markas.
Pada tahun 1945, Chairil menulis puisi berjudul Sajak Malam. Kuat dugaan, puisi ini ditulis Chairil ketika bolak-balik Jakarta Karawang. Mencekamnya peperangan yang terjadi di Jakarta dan Karawang mengingatkan Chairil pada peristiwa pertempuran Thermopylae. Perang tiga hari tanpa henti antara Yunani dan Persia pada tahun 480 sebelum Masehi.
Mulai kelam
belum buntu malam,
kami masih saja berjaga
-Thermopylae?-
-jagal tidak dikenal?-
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam
hilang…
Digerus usia, Kahfi samar-samar mengingat Chairil. Jawabannya melompat-lompat dan tidak runtut. Tidak ada pilihan lain. Kahfi adalah yang tersisa. Atau setidaknya, ia satu-satunya orang di Karawang yang mengaku pernah berinteraksi langsung dengan Chairil.
Meski akhirnya menikah dengan perempuan asli Karawang bernama Hapsah Wiraredja, segala hal yang berkaitan dengan Chairil di Karawang nyaris tidak meninggalkan jejak. Jejak keluarga besar Wiraredja tidak terlacak. Redaksi hanya menemukan alamat rumah anak tunggal Chairil, Evawani Alissa Chairil Anwar di Bekasi.
Peristiwa apa yang menelan jejak penyair besar ini?
Tahun 1945, Kahfi sudah mendengar kabar keberadaan Chairil di Karawang. Ia dengar Chairil sering mengajari anak-anak sekitar membaca. Kesempatan buat bertemu Chairil baru datang pada tahun 1946. Kebetulan rumah keluarga Kahfi berdekatan dengan rumah tempat Chairil biasa nongkrong. Chairil memang menetap sebentar di Karawang setelah menikahi Hapsah pada 6 Agustus 1946.
“Ia sering pakai kemeja tidak pernah dikancingkan, warnanya sudah pudar,” kata Kahfi sambil menyalakan sebatang kretek. Di balik kemeja itu, Kahfi bisa melihat tubuh kurus Chairil.
Chairil, menurut pengakuan Kahfi, sering nongkrong di rumah Haji Ipin (Anim Wiradinata) di Dusun Anjun Kidul, Kelurahan Karawang Kulon, Kecamatan Karawang Barat, Karawang. Ketika ditelusuri, rumah dengan alamat yang sama kini ditinggali Bubun Suherman.
Bubun masih menyimpan meja tulis peninggalan Chairil Anwar. Meja itu–beserta rumah–ia warisi dari dua orangtuanya, Anim Wiradinata dan Iyar Fatimah.
“Kalau tidak sedang nongkrong, Chairil berarti pulang ke rumah mertuanya di Sadamalun,” kata Kahfi. Redaksi tidak menemukan jejak keluarga Wiraredja di Sadamalun, Nagasari, Karawang Barat.
Chairil–berdasarkan keterangan aktivis teater sekaligus seniman Hendra Wijaya Putra–juga sering terlihat nongkrong di sekitar Alun-alun Karawang. Hendra menuturkan, Chairil menumpang truk tentara dari Alun-alun Karawang menuju Rawagede, kemudian kembali dan turun di Alun-alun Karawang. Di Rawagede, Chairil merekam pengalaman puitik dari ratusan mayat dan darah yang kelak ia tulis menjadi puisi Krawang-Bekasi.
Sejauh yang diingat Kahfi, Chairil selalu kelihatan murung. “Apalagi kalau sudah berhadapan dengan kertas.”
Kahfi menggelengkan kepala ketika ditanya apa yang menyebabkan Chairil begitu murung dan jadi penyendiri. Namun kabar baiknya, sifat tidak mau kalah dan ingin selalu mendominasi dari Chairil masih seperti dulu. “Tiap kali kumpul-kumpul ngopi, Chairil pasti mendominasi pembicaraan. Ia bisa bicara apa saja. Yang paling sering ia bicarakan adalah kondisi negara,” sambung Kahfi.
Di hadapan forum tidak resmi itu, mulut Chairil seperti tidak punya rem. Di luar itu, ia lebih sering terlihat menyendiri. Juga irit bicara. Ia sering terlihat duduk di balai-balai yang menghadap langsung ke jalan. Di sana, orang dan kendaraan sering lalu lalang. Chairil ingin menyendiri, tapi tidak mau jauh-jauh dari keramaian.
Kahfi mengaku pernah melihat Chairil menulis kata Karawang pada puisinya. Awalnya, kata Kahfi, Chairil menulis “Krawang”, kemudian dicoret dan diganti “Kerawang”, lalu dicoret lagi dan diganti “Karawang”.
Sepanjang Chairil hidup, hanya puisi Krawang-Bekasi yang memuat kata Karawang. Di situ, Kabupaten Karawang disebut bukan sebagai letak geografis. Karawang, dalam puisi Krawang-Bekasi, mewakili suatu peristiwa berdarah. Jika yang dikatakan Kahfi ini benar, sejak awal Chairil bimbang memutuskan ejaan yang digunakan untuk menyebut Karawang sebagai sebuah peristiwa. Akhirnya, Chairil jatuhkan pilihan pada ejaan “Krawang”. Ejaan “Krawang” ini digunakan pada seluruh buku puisi Chairil Anwar. Namun, masih ada saja orang yang keliru mengeja puisi “Krawang-Bekasi” menjadi “Karawang-Bekasi”.
Bersamaan dengan kegundahan Chairil ketika menulis puisi Krawang-Bekasi yang kemudian diselesaikan pada tahun 1948 (dimuat di Mimbar Indonesia tanggal 20 November 1948), Chairil berkali-kali menyebut soal masa depan Karawang. Itu yang paling diingat Kahfi.
Seperti Nostradamus, Chairil berkali-kali bilang kalau Karawang akan maju. “Karawang akan menjadi kota. Tidak akan sama seperti sekarang,” ucap Kahfi meniru apa yang dikatakan Chairil.
Tercatat, tidak hanya kali itu saja Chairil meramalkan masa depan. Pada puisi berjudul Yang Terampas dan Yang Putus, Chairil menulis: …Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin. y.a.d pada puisi itu singkatan dari yang akan datang. Ia sudah meramalkan kematiannya sendiri. Tidak lama setelah puisi itu ditulis, Chairil wafat pada 28 April 1949. Ia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet. Persis seperti puisi yang ia tulis.
Seperti yang tertulis di buku Ini Kali Tak Ada yang Mencari Cinta karya Sergius Susanto, juga pada buku Aku karya Sjuman Djaya, pengalaman puitik Krawang-Bekasi mula-mula terjadi pada suatu sore tanggal 9 Desember 1947 di rumah mertua Chairil Anwar.
Iip, begitu panggilan sayang Chairil ke anaknya, baru selesai mandi. Evawani saat itu masih berusia enam bulan. Perundingan Renville baru saja disepakati di Jakarta. Jalan masih basah setelah diguyur hujan.
Orang-orang ribut. Mereka berteriak, “Belanda ngamuk, Belanda ngamuk.”
Mereka membawa kabar buruk, Belanda telah melakukan serangan besar-besaran ke Rawagede Karawang.
Penduduk sekitar Rawagede, dan penduduk Rawagede yang masih selamat, melarikan diri sampai ke wilayah Karawang kota. Mereka berteriak, menangis, meminta tolong. Hapsah menggendong Evawani ke dalam rumah. “Ayo, Ril kita keluar dari sini. Sebentar lagi Belanda pasti akan bakar kampung kita juga,” kata Hapsah, istri Chairil seperti yang ditulis Sergius.
Chairil lari ke arah kamar, berganti pakaian. Ia berniat menyusul ke sumber peristiwa.
Mobil tentara republik berisi pasukan menepi tidak jauh dari sana. Pejuang minta warga tetap di rumah sampai situasi aman sebab menurut kabar, tentara Belanda masih mengamuk.
Chairil belum tahu apa yang sedang terjadi. Tapi ia sampai pada kesimpulan, penyerangan Belanda adalah rentetan balas dendam atas peristiwa di Bekasi. Ketika itu, 26 tentara sekutu dibantai di Bekasi. Sekutu membalasnya dengan penyerangan dan pembataian di kampung-kampung Bekasi.
Hari kedua setelah berita penyerangan, orang-orang sudah berani keluar rumah.
Informasi mulai jelas. Ratusan tentara Belanda telah menyusup tengah malam dengan berjalan kaki menuju Rawagede. Mereka menggedor-gedor tiap rumah dan menanyakan keberadaan Kapten Lukas Kustaryo dan pasukannya.
Semua orang bungkam. Belanda yang tidak sabaran akhirnya membanjiri bumi Rawagede dengan peluru.
Lukas Kustaryo dan KH. Noer Alie adalah dua buronan yang dicari Belanda dalam peristiwa Rawagede. Lukas adalah Komandan Kompi I Batalion I dari Divisi Siliwangi, Karawang. Dia diuluki si Begundal. Noer Alie adalah Komandan Markas Pusat Hizbullah-Sabilillah Jakarta, yang juga bermarkas di Karawang. Ia dijuluki si Belut Putih dan Singa Karawang.
Tentara Belanda telah membakar habis puluhan rumah dan menembaki para penduduk. Membantai semua laki-laki, tua dan muda. Tercatat 431 orang gugur dalam peristiwa ini.
Redaksi menemui Teza Yudha, S.IP., M.IP, salah seorang pengurus Yayasan Rawagede. Yayasan ini salah satunya bergerak untuk membuka tabir pembantaian di Rawagede.
Teza mengatakan, pembantaian di Rawagede tidak hanya soal Lukas Kustaryo.
Tidak mungkin, kata Teza, ratusan tentara Belanda dengan peralatan perang lengkap masuk ke kampung hanya untuk mencari keberadaan satu orang. Sedari awal, Tentara Belanda memang ingin menyerbu kampung itu dan sudah mempersiapkan segalanya.
Kenapa?
Ada banyak sekali pejuang yang berbasis dan mendirikan markas di Karawang. Salah satunya Tentara Peta (Pembela Tanah Air). Di masa-masa perjuangan, Karawang adalah jantung pergerakan. Ini yang menjadi alasan kenapa Soekarno Hatta diamankan di Karawang saat membuat teks Proklamasi. Kompi I Batalion I dari Divisi Siliwangi dan pasukan Hizbullah-Sabilillah juga bermarkas di Karawang.
Bendera merah putih sudah terpasang di rumah-rumah warga bahkan sebelum proklamasi kemerdekaan. Merah putih masih terpasang beberapa bulan setelah kemerdekaan. Belanda dan tentara Sekutu takut dengan semangat juang orang Karawang.
Mencari Lukas, kata Teza, hanya alasan. Belanda sedari awal memang mengincar para pejuang. Pembantaian adalah cara mereka untuk memporak-porandakan semangat juang anak-anak bangsa.
Gerimis turun.
Chairil ingin tahu apa yang terjadi, dan sebisa mungkin ingin membantu sebisanya. Chairil Anwar pamit ke Hapsah. Mengaku wartawan, ia menyetop truk tentara Republik di Alun-alun Karawang. Ia berangkat ke Rawagede dengan hati yang berkecamuk.
Ketika truk melintasi jembatan, dari atas truk, Chairil melihat warna sungai berubah merah. Belasan mayat mengambang.
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Truk menepi. Dari jauh, api sisa kebakaran padam. Tanah becek oleh hujan, dan sisa-sisa kolam darah. Mayat membusuk. Nyaris tidak ada suara.
Chairil pulang dengan dada berat.
Khawatir serangan susulan, keluarga besar Hapsah mengungsi ke Cikampek. Chairil bersama Hapsah dan istrinya memilih mengungsi ke Jatinegara, Jakarta.
Sejak itu, jejak Chairil di Karawang lenyap. Tidak ada yang ia tinggalkan kecuali puisi Krawang-Bekasi, puisi Sajak Malam, dan meja tulis di rumah Bubun Suherman (ayah dari Sri Rahayu Agustina, anggota DPRD Provinsi Jabar dari daerah pemilihan Karawang).
Redaksi berkesempatan melihat dari dekat meja tulis itu. Pewaris meja tulis Chairil Anwar, Bubun menyambut kami di rumahnya. Meja itu masih terawat. Terbuat dari kayu jati.
Sebagai pewaris, Bubun tidak punya ingatan soal Chairil Anwar. Ketika Chairil ada di Karawang, Bubun belum bisa mengingat dengan baik. Semua kisah Chairil Anwar di Karawang hanya ia dapat dari ayah dan kakaknya. Dulu, rumah yang ia tinggali termasuk paling besar di Anjun. Itu sebabnya banyak orang berkumpul. Salah satunya Chairil Anwar. Bahkan, saking seringnya di sana, Chairil sampai punya meja tulis sendiri.
Chairil meminta sebuah lemari ke Anim Wiradinata, ayah Bubun, pemilik rumah sebelumnya. Lemari itu dimodifikasi Chairil menjadi meja tulis. Meja tulis itu disimpan menghadap jendela besar. Jendela itu dulu menghadap langsung ke penggilingan padi. Chairil sering duduk lama di sana. Membaca buku dan menulis. Kalau bosan, ia berdiri memandang jendela, melihat aktivitas orang-orang di pabrik.
Sampai saat ini, meja tulis itu masih di sana. Masih menghadap ke arah yang sama. Ke arah jendela yang sama. Bedanya, tidak ada lagi penggilingan padi di sana. Hanya tembok rumah tetangga.
Benar kata Chairil. Karawang bakal beda. Sekali lagi, ramalannya tepat.
*
Faizol Yuhri