Beranda News Puisi Perpisahan Alief, Mahasiswa Korban Meninggal Insiden Gua Lele

Puisi Perpisahan Alief, Mahasiswa Korban Meninggal Insiden Gua Lele

1582

BEPAS, KARAWANG– Alief Rindu Alafah (18), mahasiswa Mapala Universitas Singaperbangsa Karawang (Unsika), salah satu korban insiden Gua Lele, sempat menulis sebuah puisi menggentarkan sebelum meninggal.

Dosen Teori Sastra pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unsika, Sahlan Mujtaha menuturkan kepada awak media, puisi tersebut diberi judul Bunga.

“Saya tahu betul Alief. Saya dua semester mengampu kuliahnya. Dia duduknya paling depan. Paling banyak bertanya dan berkomentar. Orangnya kritis dan produktif berkarya. Dia nulis puisi. Salah satu puisinya saya baru baca, disebar oleh para dosen. Puisinya menggetarkan,” kata Sahlan memberi kesan semasa korban masih hidup.

Baca juga: Kronologi Lengkap Insiden Meninggalnya Mahasiswa Unsika di dalam Gua

Dari titimangsa, puisi tersebut ditulis di Gunung Burangrang, Purwakarta. 11 November 2018. Setahun sebelum Alief meninggal.

Puisi Bunga terdiri dari tiga bait. Bait pertama terdiri dari lima baris. Di bait ini, penyair menggambarkan kondisi, suasana, latar dan tempat.

/
Seperti angin menembus malam
Ia tak henti henti menyerbu alam
dikala fajar memaksa tumbuh
bulan yang perlahan berpulang
udara yang semakin membekukan rusuk
/

Di bait ini, penyair menyebut “Ia” sebagai tokoh dalam puisinya. “Ia” yang punya kemampuan ibarat angin yang menembus alam. “Ia” yang menyerbu alam. Apakah Alief sedang membicarakan kematian?

Bait kedua, terdiri dari enam baris. Alief menggunakan kata “mati” bersama dengan kata “Ia” di baris kedua.

/
aku tak ingin lenyap ditelap gelap
Ia berkata aku akan mati padanya
pohon ber-iringan menari dalam kepalsuan
aroma wangi yang semakin mengutuk mental
hanya bibir yang berucap tanpa arah
menunggu tibanya keajaiban Tuhan
/

Terasa jelas, “Ia” di bait pertama memaksa “aku” untuk lenyap ditelap gelap. “Aku” puisi sempat menyerah, sempat berucap tanpa arah dan menunggu tibanya keajaiban Tuhan.

Di bait terakhir, suasana muram menguat. Penyair memakai kata “Malaikat bertopeng”, “melepaskan”, “hancur”, “ketakutan”, dan “berakhir”. Kata-kata itu menguatkan kesan pembaca pada kematian.

Puisi penanda kematian bukan hal yang asing dalam tradisi sastra kita. Kita mengenal Chairil Anwar yang menulis Derai-derai Cemara sesaat sebelum dia meninggal. “Hidup hanya menunda kekalahan,” kata Chairil.

Chairil juga menulis Yang Terampas dan Yang Terputus, beberapa bulan sebelum ia mengembuskan napas terakhir. “Di karet, di karet (daerahku yang akan datang) sampai juga deru angin,” kata Chairil. Ia dimakamkan di TPU Karet Bivak di Jakarta. (fzy)