Beranda Headline Upaya Bang Jak Menemukan Cahaya di Pameran Gelap

Upaya Bang Jak Menemukan Cahaya di Pameran Gelap

24

Kami janjian jam tiga sore di Das Kopi, pinggir markas Kodim 0604/Karawang, berhadap-hadapan dengan aliran Sungai Citarum. Bang Jak, begitu ia akrab disapa, datang agak telat mengendarai bebek warna merah. Dua orang yang tampaknya seniman duduk agak jauh dari saya. Bang Jak menyalami kami–dengan protokol kesehatan, tentu–satu persatu.

Sebelum berbincang, Jak Harris Bonandar, nama lengkapnya, menyeduh kopi untuk tamu-tamunya. Kalau menggunakan kacamata jauh, Das Kopi adalah kafe sebagaimana ratusan kafe lain di Karawang. Dari dekat, Das Kopi adalah kolektif. Tempat di mana hampir semua kegiatan kreatif berpusat. Pameran Gelap, yang menempatkan Bang Jak sebagai “artis utama”, adalah salah satunya. Di Das Kopi, anak muda dan tua berdiskusi, merancang, berencana, mengkritik, sambil menyesap kopi Sanggabuana.

Semua orang bisa menebak usia dan profesi Bang Jak dari penampilan luarnya. Terutama dari rambut yang tidak lagi tumbuh merata di kepala. Putih. Terkuncir. Memanjang sampai punggung.

Di Karawang, Bang Jak seniman serba bisa. Ia melukis, main teater di atas dan belakang panggung, aktor film pendek, deklamator puisi, musisi, dan akhir-akhir ini puisinya lolos kurasi zine paling berpengaruh di Karawang: Lamun.

Pameran Gelap diselenggarakan di satu area Das Kopi berukuran 5 kali 7,5 meter. Tanggal 30 dan 31 Januari 2021. Mulai jam 10 siang sampai tujuh malam. Pameran tersebut memamerkan 30 sketsa terbaik Bang Jak yang dibuat sejak 2017 lalu. Sketsa itu merekam perjalanan Bang Jak di empat lokasi berbeda: Karawang, Bandung, Bekasi, dan Kalimantan.

Tiket pameran dijual Rp 15 ribu. Bisa dibeli di Das Kopi (Jalan Veteran, Samping Kodim 0604/Karawang), Kertas Koffie (Jalan Raya Proklamasi, Karyasari, Rengasdengklok), Cafe Azka (Kutawaluya), atau daring di tautan https://www.loket.com/event/pameran-gelap-edg4.

“Sketsa yang saya buat lebih dari itu. Namun setelah dikurasi dan melalui berbagai pertimbangan, yang kami tampilkan hanya 30 sketsa,” kata Bang Jak.

Bagaimana dengan protokol kesehatan?

“Sebelum masuk, pengunjung diminta mencuci tangan. Dicek suhu. Wajib mengenakan masker. Pintu masuk dan keluar pengunjung pun dipisah. Di area pameran, cuma tiga pengunjung yang boleh masuk. Masing-masing diberi waktu maksimal lima menit di area pameran,” jawab Bang Jak.

“Kenapa kami tiket, tujuannya supaya menjaga supaya orang tidak terlalu banyak masuk,” sambungnya.

Bang Jak menyebut Pameran Gelap sebagai eksperimen penyatuan seni sketsa dan seni instalasi. Eksperimen ini bisa jadi gagal. Namun apa yang dilakukan Bang Jak adalah yang pertama di Indonesia.

Medium sketsa dipilih Bang Jak karena menurutnya, sketsa adalah seni murni. “Belum ada campuran yang lain. Sektsa adalah garis murni, tanpa arsiran, dan warna seperti drawing atau lukis. Saya ambil sketsa karena ingin menampilkan kejujuran dalam berkarya. Secara teknik, satu garis dalam sketsa harus sudah punya arti, tanpa tambahan apa-apa agar terlihat indah. Apa adanya,” terangnya.

Setelah menukar tiket, yang pertama kali ditemui pengunjung ketika masuk area adalah kegelapan total. Kru Das Kopi akan menutup area dengan kain hitam, dan cat hitam. Semua serba hitam. Tidak ada cahaya kecuali sinar kecil di dalam kotak hitam seukuran kertas A3 dengan lebar 40 sentimeter. Kotak itu jumlahnya 30, masing-masing memuat satu sketsa Bang Jak. Terpacak di tembok pameran. Terdapat dua lubang di kotak dengan jarak berdekatan, lubang itu tersambung tabung pendek. Dari tabung itu, pengunjung bisa mengintip karya Bang Jak.

Pengunjung tidak akan mendapat gambaran utuh sketsa Bang Jak.

“Pada saat memandang objek (sketsa) pakai satu mata, kanan atau kiri, kita melihat separuh sketsa. Tapi saat kita pakai dua mata kanan kiri, objek akan terlihat, tapi ada garis buta di tengah. Garis pemisah. Nah garis ini adalah pemisah kita dari objek. Artinya, satu objek kalau dilihat pakai satu mata hasilnya tidak terlihat sempurna. Kita harus memandang segala sesuatu pakai dua mata, berdampingan kanan dan kiri, agar apa yang kita lihat hasilnya sempurna, meski tetap ada garis buta,” kata Bang Jak.

Ketidaksempurnaan pandangan mata itu semakin dikuatkan dengan pemilihan tema sketsa: urban.

Bang Jak memilih tema urban, bukannya pemandangan. Menurut Bang Jak, sketsa pemandangan seperti gunung hanya memuat satu emosi. Yaitu keindahan. Lain dengan tema urban yang memuat banyak emosi dalam satu sketsa. “Kalau urban kan kompleks, tiap lingkungan beda. Di sana ada masalah sosial, masalah keseharian, semua jadi satu. Juga, saya membuat sketsa urban langsung sesuai dengan apa yang saya lihat dari sudut pandang orang pertama di pinggir jalan. Tidak ada yang di dalam gedung.”

Bang Jak kurang lebih mau bilang, kita tidak pernah sempurna melihat persoalan urban. Selalu ada kegelapan. Bahkan dari sudut paling jujur, tetap terasa ada yang kurang.

Kenapa harus gelap? Bang Jak menjawab filosofis, “Sebelum terang ada gelap, gelap harus ada terang. Hubungan timbal balik itu yang coba saya munculkan. Kurang lebih, pameran ini memuat perjalanan kesenian saya dari tahun 2017 melalui sketsa urban. Seolah-olah saya berjalan di tengah kegelapan, mencari setitik cahaya di ujung perjalanan.”

Sambil melinting tembakau, Bang Jak meneruskan paparannya. Ia penuh optimisme. Tidak pernah sekali pun menyalahkan pemerintah. Ia terus berjalan di dalam gelap sambil menyalakan setitik cahaya. Karena, seperti kata pepatah, bukankah lebih baik menyalakan sebatang lilin ketimbang menyalahkan kegelapan? (Faizol Yuhri)