BEPAS, KARAWANG – Sejumlah pegiat lingkungan menggelar diskusi publik tentang pencemaran minyak mentah di Kabupaten Karawang. Dengan tema ‘Kemerdekaan Dicemari Minyak’ yang diikuti Greenpeace, Kiara, Jatamnas, Walhi Jawa Barat dan Karawang Explore. Diskusi tersebut juga dimoderatori oleh Litbang Forum Komunikasi Daerah Aliran Sungai Citarum (ForkadasC+), Willy Firdaus.
Sementara itu Ketua Karawang Explore, Hadid Suherman mengatakan setelah melakukan penyelaman (diving) untuk mengecek terumbu karang Sendulang. Keadaan terumbu karang di Karawang masih aman untuk saat ini, akan tetapi ancaman minyak mentah dari sumur blok YYA-1 milik Pertamina ONWJ itu bisa mengancam terumbu karang jika musim angin laut berubah arah.
“Saat ini angin laut masih mengarah ke wilayah barat, tetapi jika angin laut sudah mengarah ke wilayah timur, maka ancaman terhadap terumbu karang akan terjadi”.
Kerusakan pada terumbu karang bisa merugikan Kabupaten Karawang. Selain sebagai objek wisata dan sejarah adanya bangkai kapal peninggalan VOC, terumbu karang di Karawang juga memiliki potensi penghasil oksigen yang tinggi bagi kehidupan.
“Pertamina harus menyelesaikan secepatnya tumpahan minyak mentah ini. Karena akan mengancam terumbu karang ketika angin laut berubah arahnya,” katanya.
Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Walhi Jabar Meiki W Paendong, jika kebocoran YYA-1 tidak segera diatasi maka besar kemungkinan perluasan wilayah terdampak bisa ke seluruh Pantura (pantai utara) Jabar ketika arah angin berubah.
“Seminggu setelah kejadian kita sudah peringatkan jika tumpahan bisa sampai Kepulauan Seribu. Kita khawatir ketika angin berubah, seluruh pantura jabar bisa terkena dampaknya,” ucapnya.
Meiki juga meminta Pertamina dan Pemerintah untuk melakukan evaluasi kepada seluruh sumur tua yang dimiliki Pertamina saat ini. Hasil evaluasi itu juga harus disampaikan kepada publik secara gamblang.
Kepala Pusat Studi Manajemen Bencana (PSMB) UPN ‘Veteran’ Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno menegaskan kejadian Balikpapan dan Karawang ini berbeda. Kejadian bocornya minyak di Balikpapan disebabkan karena jangkar kapal yang menghantam pipa minyak. Tetapi Karawang ini terjadi kebocoran di wilayah sumur, dan ini merupakan kasus yang baru di Indonesia.
Eko mengingatkan kesadaran pengurangan risiko bencana di Indonesia ini sangat rendah. Ia berharap dengan kejadian Pertamina itu menjadi pembelajaran pemerintah untuk memperhatikan investasi pengurangan bencana dalam sebuah investasi pembangunan.
Lalu dalam kejadian Pertamina, Eko mengajak seluruh akademisi di sejumlah disiplin ilmu turun untuk mengawal dan memberikan inovasinya dalam kejadian ini. Ia melihat harus ada solusi inovatif yang harus segera dilakukan. Dari penanganan risiko sosial, budaya, ekonomi dan risiko ekologis.
“Contohnya, petambak garam yang tidak bisa mengambil air permukaan laut karena pencemaran minyak. Dibandingkan mereka tidak berproduksi. Lebih baik kita carikan solusi bagaimana mereka bisa tetap beroperasi. Misalnya pihak ketiga mau dari Pertamina, Pemerintah atau pihak mana pun, membantu mereka mengambil air laut bagian dalam. Itu bisa dilakukan,” katanya.
Koordinator Jatamnas (Jaringan Advokasi Tambang Nasional), Melky Nahar secara tegas meminta kasus ini bukan sekedar dalam penanganan kompensasi saja. Melainkan harus penindakan hukum secara tegas yang dilakukan oleh penegak hukum.
“Tetapi jangan ada yang dikambinghitamkan, masa yang ditahan itu kroco-kroco. Karena ada pejabat dalam kasus ini,” katanya.
Pemerintah dan Pertamina dimintanya harus secara jujur mengungkapkan apa penyebab terjadinya kebocoran YYA-1. Hal tersebut untuk mengevaluasi agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Kemarahan Jatamnas sendiri, karena lambannya informasi Pertamina kepada publik saat terjadi kebocoran. Informasi publik itu muncul justru ketika sepekan setelah kejadian terjadi. Kejadian kebocoran terjadi di tanggal 12 Juli 2019. Akan tetapi Pertamina baru melakukan konferensi pers pada 18 Juli 2019.
“Yang membingungkan ada pejabat pemerintah yang mengatakan jika pencemaran minyak ini berkah. Padahal mereka sebagai masyarakat pesisir ini sebagai korban,” katanya.
Bidang Kelautan Greenpeace Arifsyah mengungkapkan apakah kejadian kebocoran ini sebagai kesalahan prosedural atau kesalahan sistem dari birokrasi pemerintah terkait migas.
Evaluasi pun harus dilakukan secara jelas oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan melakukan audit tanpa harus menunggu dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Ia juga menekankan, Presiden Joko Widodo untuk turun tangan dalam evaluasi permasalahan Pertamina di Karawang tersebut. (fzy)