BEPAS, BEKASI – Salah seorang karyawan, Christhoper Marsudi melaporkan perusahaannya, PT Astra Daido Steel Indonesia, lantaran tidak lagi menerima gaji, terhitung sejak Maret 2019.
Alih-alih mendapat hak keuangannya, perusahaan justru melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak. Kasus tersebut diadukan ke Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi untuk ditindaklanjuti.
“Dari laporan ini, kami berharap sekaligus meminta Bupati Bekasi, melalui Dinas Tenaga Kerja untuk menindaklanjuti ini. Bila ditemukan adanya dugaan pelanggaran, agar dilakukan pencabutan izin usaha,” kata Marsudi melalui kuasa hukumnya, Ari Indra David, SH saat dikonfirmasi beritapasundan.com, Rabu (21/08/2019) di Kantor Disnaker Kabupaten Bekasi.
David mengungkapkan, Marsudi pertama kali diangkat menjadi karyawan tetap pada September 2002 atau sekitar 17 tahun lalu. Ketika itu, hak dan kewajibannya diberikan sesuai Undang-undang 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Kemudian per 1 Maret 2019 lalu, diangkat menjadi Deputy Head Sales are Corporate dengan perincian gaji yang didapatkan sebesar Rp 11.225.000. Namun faktanya gaji tersebut tidak pernah didapat hingga kini,” ungkap David lagi.
Pada 21 Maret 2019, Marsudi yang semula bertugas di Semarang, kemudian diminta memulai tugas di kantor pusat di kawasan Lippo Cikarang Kabupaten Bekasi.
“Klien kami tidak keberatan dengan penugasan tersebut dengan catatan hak dan kewajibannya diberikan sesuai aturan yang berlaku,” ucap dia.
Dalam kepindahan tersebut, Marsudi mengajukan tambahan biaya pindahan dari Semarang menuju Cikarang. Soalnya, sejak bekerja di Semarang dirinya telah memiliki keluarga. Pemindahan ini pun diajukan melalui bipartit atau perundingan antara karyawan dan perusahaan. Namun, alih-alih permohonan bipartit diproses, Marsudi malah mendapatkan surat peringatan pertama karena dianggap mangkir bekerja.
“Sembari menunggu bipartit diproses, klien kami menunggu sambil terus bekerja di kantor Semarang. Ini dibuktikan dengan absensi yang terekam di data kantor,” jelasnya,
Kemudian pada 13 Jui 2019 lalu, pertemuan akhirnya dilakukan antara karyawan dengan perusahaan. Namun, bukannya membahas persoalan hak dan kewajiban yang diterima karyawan, perusahaan justru menerbitkan surat peringatan kedua.
Puncaknya pada pertemuan berikutnya, perusahaan lantas menerbitkan surat pemutusan hubungan kerja secara sepihak.
“Ini kami anggap dilakukan secara sepihak karena tidak dilakukan tahapan pertemuan bipartit. Upaya kami untuk memerjuangkan hak pun justru dibalas dengan pemutusan hubungan kerja,” ucap dia.
Berdasarka UU 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, disebutkan bahwa perselisihan wajib diselesaikan melalui perundingan secara musyawarah dan mufakat.
“Maka kami prihatin dan menilai ada dugaan diskriminasi terhadap karyawan. Mutasi yang dilakukan pun tidak berdasarkan asas terbuka dan obyektif,” ucap dia.
Dinas Tenaga Kerja akhirnya melakukan mediasi untuk menyelesaikan persoalan ini. Mediasi tersebut menjadi yang kedua kali, namun tidak ada kesepakatan dari hasil mediasi tersebut. Mediator Dinas Tenaga Kerja, Ernawati menyebut, kedua pihak masih teguh pada pendapatnya masing-masing.
“Karena tidak ada kesepakatan, maka langkah selanjutnya kami akan terbitkan rekomendasi. Sesuai aturan, kami menerbitkan rekomendasi dalam waktu satu bulan ke depan,” ucap dia. (ais/ris)