Cerita Misteri: Asrama putri itu berdiri megah namun menyeramkan di sebuah kota kecil. Dari luar, bangunannya tampak tua dengan dinding-dinding berlumut dan jendela kayu yang terkadang berderit meski tak ada angin. Para penghuni asrama telah lama tahu aturan-aturan tak tertulis yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di antaranya adalah kewajiban memberi sesajen berupa bunga tujuh rupa, dupa, dan segelas air kelapa di depan gudang belakang setiap malam Jumat Kliwon.
Konon, gudang itu menyimpan rahasia gelap. Puluhan tahun lalu, seorang pengurus asrama yang tinggal di sana meninggal secara tragis. Tubuhnya ditemukan tergeletak dengan mata melotot, seolah melihat sesuatu yang amat menakutkan. Sejak itu, gudang belakang menjadi pusat gangguan mistis. Penghuni yang lupa atau sengaja melanggar aturan sesajen selalu menerima teror mengerikan.
Teror Dimulai
Malam itu, Nina, seorang mahasiswi baru, sedang duduk di kamarnya. Ia belum terlalu percaya pada cerita-cerita mistis yang diceritakan seniornya. Saat teman-temannya sibuk menyiapkan sesajen, ia hanya tertawa kecil.
“Ah, masa iya cuma karena nggak naro sesajen aku bakal kena teror? Kuno banget,” katanya sambil menutup pintu kamarnya.
Namun, malam itu juga, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Pukul 11 malam, Nina terbangun karena suara langkah berat di lorong. Tapi, saat ia mengintip dari balik pintu, lorong itu kosong. Ketika ia kembali berbaring, suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat.
Nina mencoba mengabaikannya, tapi kemudian, lampu di kamarnya mulai berkedip-kedip. Tiba-tiba, jendela kamarnya terbuka lebar dengan sendirinya. Angin dingin menyeruak, membawa bau bunga melati yang menyengat.
Ia mencoba menenangkan diri, tapi suara bisikan mulai terdengar. “Kenapa tidak taat? Kenapa tidak taat?”
Baca juga: Teror Jalur Lintas Sumatera
Malam yang Menyeramkan
Ketakutannya memuncak ketika lemari bajunya terbuka sendiri, dan sebuah bayangan hitam besar muncul dari dalam. Bayangan itu tak memiliki wajah, hanya mata merah menyala yang menatap tajam ke arah Nina.
Ia menjerit, tapi suaranya seolah tertahan di tenggorokan. Bayangan itu mendekat, dan Nina merasakan udara di sekitarnya semakin berat. Ia mencoba membaca doa, namun bayangan itu hanya tertawa, suaranya menggema di seluruh kamar.
Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka. Seniornya, Siska, berdiri di sana dengan wajah panik. “Kamu nggak kasih sesajen, ya?” tanya Siska dengan nada ketakutan.
Nina hanya mengangguk lemah. Siska segera menariknya keluar dari kamar dan membawanya ke gudang belakang. Di sana, beberapa penghuni asrama sudah berkumpul, menyiapkan sesajen tambahan. Mereka membakar dupa dan meletakkan bunga-bunga di depan pintu gudang yang tertutup rapat.
Saat ritual kecil itu selesai, suasana mendadak hening. Bayangan hitam yang tadi menghantui Nina perlahan muncul di depan gudang, lalu menghilang seiring aroma dupa yang semakin memudar.
Kisah Gudang Belakang
Setelah kejadian itu, Siska menceritakan lebih banyak tentang sejarah gudang belakang. “Dulu, pengurus asrama yang meninggal itu memang tinggal di sana. Tapi katanya, ia bukan meninggal karena kecelakaan. Ia melakukan ritual terlarang di gudang itu, membuka sesuatu yang seharusnya tetap terkunci. Dan sekarang, ia menjaga gudang ini.”
Sejak malam itu, Nina tak pernah lagi menyepelekan aturan asrama. Setiap malam Jumat Kliwon, ia menjadi salah satu yang paling rajin menyiapkan sesajen. Namun, ia tahu, teror di gudang belakang belum benar-benar selesai. Selalu ada ancaman bagi siapa saja yang berani melanggar.
Dan setiap malam, saat lorong asrama kembali sunyi, Nina kadang masih mendengar bisikan kecil dari arah gudang: “Kenapa tidak taat?”