Kritik sastra kita di ujung tanduk. Begitu kata orang-orang sejak bertahun-tahun silam. Kritik sastra berangkat ke kuburan ketika sastra Indonesia dirayakan besar-besaran, karya lahir, penulis berangkat ke luar negeri, novel diterjemahkan, penghargaan di mana-mana.
Soni Farid Maulana dalam buku Apresiasi dan Proses Kreatif Menulis Puisi, mengatakan, masalah kritik sastra salah satunya terletak pada kerumitan-kerumitan yang sukar dipahami pembaca awam. Kritik sastra jadi asing.
Dalam bukunya, Soni Farid menawarkan solusi. kritik sastra harus disajikan sesederhana mungkin, sesederhana karya sastra yang dikritik. Saya tidak sepakat. Kritik ya kritik. Ia mestinya bergerak di lingkungan akademik, di antara para peneliti sastra. Ia ada di belakang panggung gemerlap para penulis, karena itu ia begitu asing.
Meski begitu, tidak ada jaminan sebuah karya bisa didekati melalui pisau analisa kritik sastra. Padahal, fungsi kritik sastra adalah mendekati sebuah karya sedekat mungkin. Kritik sastra adalah jembatan penghubung yang fiksi dan yang nyata.
Sitor Situmorang pernah ketawa ngakak ketika tafsiran atas puisinya menimbulkan perdebatan. Malam Lebaran–puisi yang ia tulis–ditafsirkan berlembar-lembar oleh seseorang. Tafsiran itu dibantah oleh yang lain, lalu dibantah lagi.
Padahal, puisi satu baris itu ditulis Sitor sebagaimana adanya. Ia sedang jalan kaki sepulang dari rumah Rendra, di malam lebaran, potong jalan lewat kuburan Cina, memanjat dinding makam, lalu melihat dengan mata kepala sendiri: sepotong bulan di atas kuburan Cina.
Bahkan kritik sastra–atau bahasa?– masih salah paham menafsirkan karya sastra. Pada akhirnya, kritik sastra berakhir pada upaya menebak-nebak jalan pikiran penulis.
Satu-satunya Rektor perguruan tinggi se-Indonesia yang berambut gondrong, Seno Gumira Ajidarma dalam pidato kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki memberi jeda pada perdebatan antara penafsiran dan realita. Jeda ini tidak hanya menjangkau dialektika tolak menolak kritik sastra dan karya sastra, tapi juga merentang menyentuh hakikat kesenian: budaya.
Dan Seno tetap Seno. Ia pernah dengan piawai mengganti kalimat “aku sayang kamu” dengan metafora sepotong senja. Sepotong senja yang dipotong pakai pisau lalu dimasukkan ke dalam amplop. Pada perkara segawat kebudayaan, Seno tetap Seno. Kebudayaan, dalam pandangan Seno, adalah tusuk gigi.
Kata Seno, kita perlu melihat kebudayaan seperti melihat tusuk gigi. Iya, tusuk gigi di dalam kemasan. Tusuk gigi memikul beban makna secara konotasi dan denotasi.
Kalau bukan petualang, atau orang yang sering bepergian seperti Seno, agak sulit membayangkan aneka jenis kemasan tusuk gigi beserta desainnya. Kalau begitu mari kita buang metafora tusuk gigi. Kita ganti dengan: teh celup.
Sebagaimana tusuk gigi, ada banyak merek teh celup. Merek-merek itu menawarkan desain, dan bentuk kemasan yang berbeda-beda. Isinya tetap sama. Sama-sama teh celup.
Secara konotasi, kebudayaan tidak mengutamakan tusuk gigi–dalam tulisan ini kita ganti teh celup–tapi mengutamakan desain dan bentuk kemasan yang membungkus teh celup.
Secara denotasi, kebudayaan adalah teh celup. Isi lebih penting. Kemasan tidak penting.
Dalam karya sastra, konotasi berarti cara penulis membungkus ide. Bagaimana ia mengeksekusi ide tersebut, mengolahnya, memilah kalimat, memberi plot, dan menyajikannya ke pembaca. “Bungkus” ini tentu saja harus menjual. Sebab, karya sastra adalah industri. Kita semua tahu hukum tunggal industri: produksi sebanyak mungkin, jual sebanyak mungkin.
Sementara denotasi adalah isi. Gagasan. Ide. Barangkali, dalam pandangan Budi Darma, denotasi dalam karya sastra adalah berarti obsesi pengarang. “Setelah saya berkenalan dengan sastra asing, tahulah saya, bahwa salah satu epigram novel Ernest Hemingway, The Sun Also Rises, diambil dari salah satu kitab suci, juga mempertanyakan mengapa laut tidak pernah penuh. Itulah obsesi pengarang, yaitu serangkaian pertanyaan yang terus-menerus mendorong pengarang untuk menulis,” kata Budi Darma seperti yang saya kutip dari Tirto.
Pandangan Budi Darma soal obsesi pengarang bisa kamu temukan di pengantar novel Kritikus Adinan.
Dan sialnya, obsesi pengarang ini sukar didekati. Bahkan oleh pisau kritik sastra. Yang bisa kita lakukan dengan kritik sastra hanya menguliti bagian paling luar dari karya sastra, bagian bungkus, bagian konotasinya saja.
Saat diminta jadi pemantik diskusi bedah cerita pendek Tok Mulkan dan Istrinya, saya khawatir. Jangan-jangan saya gagal menemukan pisau analisa yang tepat buat membongkar Tok Mulkan dan Istrinya. Kalau begitu, Delvi Yandra, penulisnya, bakal ngakak seperti Sitor Situmorang.
Di internet, agak susah menemukan cerpen-cerpen miliknya. Pekerjaan membedah makin sulit. Di tulisannya, penulis mestinya meninggalkan “cetak biru” yang menuntun kita pada bagaimana gayanya, apa obsesinya, siapa penulis di masa lalu yang ingin ia tiru habis-habisan. Semakin banyak tulisannya, semakin jelas petunjuknya. Delvi cuma meninggalkan tiga petunjuk. Keadilan Bardi, yang dimuat di Padang Ekspres tahun 2019; Yang Ditinggalkan, dimuat di Haluan tahun 2018; Tok Mulkan dan Istrinya, dimuat Tempo tahun 2014.
Dari tiga cerpen itu, Delvi punya kecenderungan menyusun adegan ala-ala author’s direction pada naskah drama/teater. Petunjuk pengarang dalam naskah drama memberikan penjelasan ke sutradara atau kru artistik terkait informasi teknis yang tidak bisa dimasukkan ke dalam dialog. Suasana adegan, kondisi ruang dan waktu, suasana hati pemain, gerakan pemain, dan sebagainya. Delvi punya kecenderungan seperti ini.
Kecenderungannya makin tampak di Tok Mulkan dan Istrinya. Karakter dalam cerpen ini bergerak serba mekanik. Mereka adalah robot tanpa emosi. Juga, cerpen ini mengandung banyak sekali dialog. Sangat naskah drama sekali, bukan?
Alur (ruang dan waktu) dalam cerpen ini tidak bergerak ke mana-mana. Dari awal cerita sampai akhir, kita tidak tahu berapa lama waktu yang dihabiskan karakter, sedang di mana mereka. Kita bahkan tidak tahu latar belakang karakter, seperti apa perawakan mereka, berapa usia mereka, dan lain-lain. Delvi bahkan seperti tidak berniat menggerakkan cerita. Dalam dimensi cerpen ini, Tok Mulkan dan istrinya berdialog di tengah dunia yang sedang membeku. Atau jangan-jangan, Tok Mulkan dan istrinya bukan manusia, mereka hanya entitas yang mewakili suatu kondisi tertentu?
Kecenderungan tulisan yang mengarah ke naskah drama tidak terlepas dari latar belakang Delvi. Dia anak teater. Cek saja rekam jejaknya di internet.
Atau jangan-jangan, Delvi memang sengaja melakukan itu? Kita tidak tahu. Sulit menebak obsesi seorang pengarang.
Desember tahun lalu, saya dipercaya menggarap naskah Arkeologi Beha karangan Benny Yohanes. Kebetulan Delvi juga pernah memerankan naskah Bius dari Benny Yohanes.
Benny gemar memakai simbol di naskahnya. Bahkan simbol dalam naskah Arkeologi Beha tidak padu satu sama lain sehingga menabrak struktur logika. Sementara dalam semesta cerita pendek atau novel, struktur logika adalah bagian paling penting dalam cerita. Kisah fiksi harus berdiri di atas struktur logika yang kuat. Tanpa itu, kisah fiksi runtuh.
Tahun ini, saya juga ambil bagian dalam garapan naskah Anak karya Putu Wijaya. Di naskah ini, Putu Wijaya pun menggunakan simbol.
Saya tidak bilang kalau naskah teater/drama harus mengandung simbol. Namun dua naskah teater yang saya garap dua tahun terakhir mengandung simbol. Bagaimana kalau kita anggap cerpen Delvi sebagai naskah teater?
Maka kita akan temukan simbol peti es krim, dan seragam sekolah yang sedang dijahit. Kita bisa langsung tahu kalau seragam sekolah yang sedang dijahit menyimbolkan kemiskinan. Tok Mulkan miskin, istrinya juga. Mereka sedang membayangkan diri mereka punya anak seorang dokter dan diperlakukan sebagaimana orangtua para dokter. Singkatnya, mereka berangan-angan jadi orang kaya.
Lalu, simbol peti es krim penuh bongkahan balok-balok es tanpa es krim, apa maksudnya?
Saya dan kamu tentu bisa ngarang. Es krim adalah simbol manis, atau barangkali hidup yang manis. Sementara peti es krim tanpa es krim berarti simbol angan-angan hidup manis. Lalu peti es krim berisi balok es tanpa es krim berarti angan-angan menghabiskan hidup dengan manis tapi tidak pernah tercapai. Tentu boleh. Tapi, sejak kapan ada konvensi kalau es krim sama dengan hidup manis? Kalau seragam sekolah yang sedang dijahit, semua orang sepertinya sepakat, menyimbolkan kemiskinan. Kalau es krim menyimbolkan hidup manis, siapa yang mau sepakat?
Simbol peti es krim pada akhirnya menggantung. Entah Delvi sengaja memakai simbol yang tidak dimengerti pembaca, atau dia memang sedang kehabisan ide. Saya tidak tahu. Saya juga tidak tahu apakah pasangan suami istri dalam cerpen ini punya anak, sedang membayangkan seorang anak, atau punya anak tapi sudah meninggal. keberadaan anak pasangan Tok Mulkan ini sama buramnya dengan simbol peti es krim.
Terakhir, semoga tulisan ini bisa jadi pengantar dalam diskusi. Semoga diskusinya cair dan lancar. Tidak beku seperti balok es di peti es krim milik Tok Mulkan. Salam.
F. Yuhri.