Beranda Ekonomi & Bisnis Mengubah Residu Kelapa Sawit Jadi Pupuk: Bisnis Cerdas Tingkat Pertanian Berkelanjutan

Mengubah Residu Kelapa Sawit Jadi Pupuk: Bisnis Cerdas Tingkat Pertanian Berkelanjutan

44
Bisnis cerdas pertanian
Ilustrasi petani memanen. Foto: istimewa

Ditulis oleh:

Bisnis cerdas pertanian

Profesor Madya Dr. Md. Asrul Nasid Masrom, Peneliti Utama, Centre for Sustainable and Environmental Infrastructure Management Research (CSIEM). Faculty of Technology and Business Management, UTHM Malaysia

Bisnis cerdas pertanian

Eahwan Zakaria, Ketua Koperasi Petani Kecil Kabupaten Pontian Berhad (KEPAK) Pontian, Johor Malaysia

Dr. Ir. Uus Mohammad Darul Fadli, S.E., MM, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Buana Perjuangan Karawang, Indonesia


Beritapasundan – Malaysia adalah salah satu produsen minyak sawit terbesar di dunia, menghasilkan jutaan ton limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) setiap tahun. Pengelolaan sampah ini merupakan isu penting, terutama terkait kelestarian lingkungan dan pemanfaatan sumber daya yang optimal.

Di antara metode yang mulai mendapat perhatian adalah penggunaan abu dari  proses insinerasi TKKS sebagai pupuk pertanian.

Isu utama pengelolaan limbah kelapa sawit adalah banyaknya sampah yang sering dibuang atau dibakar secara terbuka. Pembakaran terbuka ini juga dipandang sebagai penyebab dan menyebabkan polusi udara, pemborosan sumber daya dan mempengaruhi kesehatan masyarakat.

Oleh karena itu, teknologi pembakaran modern dipandang sebagai alternatif berkelanjutan untuk mengurangi masalah polusi dan memanfaatkan limbah sebagai sumber daya yang berharga.

Baca juga: DPPKB Karawang dan Pabrik ABC Indonesia Gelar Layanan KB Gratis bagi Pekerja

Potensi utama abu TKKS yang dihasilkan dari proses pembakaran adalah kandungan mineralnya yang tinggi, seperti kalium, fosfor, kalsium, magnesium dan silika.

Mineral ini sangat penting untuk kesuburan tanah dan pertumbuhan tanaman. Studi pendahuluan telah menunjukkan bahwa pupuk abu sawit mampu meningkatkan hasil panen secara signifikan seperti padi, sayuran, dan tanaman buah-buahan.

Yang menarik adalah penggunaan abu ini tidak hanya mampu mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia impor tetapi juga mendukung konsep pertanian berkelanjutan dan berkontribusi pada Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG ke-2 (Zero Hunger), SDG ke-12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab) dan SDG ke-13 (Aksi Iklim).

Namun, beberapa kendala perlu diatasi sebelum potensi ini dapat dimanfaatkan secara luas. Beberapa tantangannya antara lain tingginya biaya pemasangan dan pengoperasian insinerator modern, kurangnya kesadaran di kalangan petani tentang manfaat penggunaan abu ini, serta aspek peraturan yang tidak jelas tentang penggunaan abu dari insinerator sebagai pupuk pertanian.

Selain itu, masalah logistik terkait pengumpulan, pengangkutan, dan penyimpanan abu juga menjadi kendala yang perlu diberi perhatian serius.

Pemerintah memainkan peran penting dalam mengatasi hambatan ini melalui perumusan kebijakan dan insentif yang mendukung investasi dalam teknologi hijau. Program kesadaran dan pelatihan yang melibatkan petani juga harus diintensifkan oleh lembaga pemerintah seperti Departemen Pertanian dan Kementerian Perkebunan dan Komoditas.

Baca juga: Tiga Tahun Belajar di Emperan, SDN Pacing 2 Karawang Akhirnya Akan Direhab

Subsidi atau insentif khusus dapat diberikan kepada perusahaan perkebunan yang berinvestasi dalam pengembangan insinerator modern untuk mendorong penggunaan teknologi berkelanjutan ini.

Tidak hanya itu, peran peneliti universitas adalah memastikan bahwa teknologi ini cocok untuk aplikasi yang luas. Studi ilmiah dan pengembangan teknologi pembakaran bersih perlu ditingkatkan untuk memastikan bahwa abu yang dihasilkan benar-benar aman digunakan dalam pertanian.

Universitas juga perlu melakukan studi terperinci tentang efek jangka panjang dari penggunaan abu ini terhadap kesuburan tanah dan ketahanan pangan.

Selain itu, masyarakat setempat dapat berperan sebagai penerima manfaat utama dari teknologi ini. Petani kecil perlu dibimbing dan dilatih tentang cara menggunakan abu sawit sebagai pupuk dengan benar. Mereka juga dapat membentuk koperasi masyarakat untuk mengelola pengumpulan dan distribusi abu kepada anggota masyarakat, sehingga menciptakan peluang kerja baru.

Misalnya, Koperasi Petani Kecil Kabupaten Pontian  Malaysia (KEPAK) semakin aktif berkolaborasi dengan peneliti UTHM untuk mengembangkan teknologi yang dapat menghasilkan pupuk berkelanjutan.

Dari segi penerimaan, petani umumnya positif namun tetap berhati-hati karena kurangnya pengetahuan dan pengalaman dalam menggunakan pupuk abu sawit ini. Kolaborasi berkelanjutan antara pemerintah, universitas, dan masyarakat diperlukan untuk membangun kepercayaan dan kepercayaan di antara petani.

Baca juga: Pemkab Karawang Anggarkan Rp55,5 Miliar untuk Rehabilitasi dan Pembangunan RKB Sekolah di 2025

Selain itu, risiko yang perlu diperhatikan termasuk potensi pencemaran logam berat dalam abu, jika proses pembakaran tidak dilakukan dengan sempurna. Oleh karena itu, kontrol kualitas yang ketat oleh pihak berwenang sangat penting untuk memastikan bahwa hanya abu berkualitas tinggi dan bebas polusi yang digunakan sebagai pupuk.

Dibandingkan dengan negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara Eropa, teknologi insinerator untuk menghasilkan pupuk dari sampah organik telah lama banyak dipraktikkan dan mendapat respon positif dari masyarakat petani. Negara-negara ini memiliki peraturan yang ketat serta sistem logistik yang efisien dalam pengumpulan dan penggunaan kembali abu limbah.

Pemerintah mereka memberikan insentif yang jelas serta lingkungan peraturan yang kondusif untuk mendorong pengembangan teknologi ini.

Misalnya, Jepang memiliki pedoman terperinci tentang penggunaan abu dari insinerator yang menjamin keamanan dan efektivitas pupuk yang dihasilkan. Korea Selatan, di sisi lain, telah berhasil menjadikan abu sampah organik sebagai komponen penting dari program pertanian berkelanjutan nasional mereka.

Baca juga: UBP Karawang Dorong Mahasiswa Memahami Jatidiri Bangsa di Era Digital

Malaysia dapat belajar dari keberhasilan negara-negara ini, terutama dalam hal regulasi, kontrol kualitas, dan sistem pendukung bagi petani. Upaya pemerintah dengan perguruan tinggi dalam menyusun pedoman khusus dan melakukan kajian ilmiah yang mendalam dapat memastikan bahwa penggunaan abu TKKS lebih efektif dan aman.

Selama 10 tahun ke depan, arah sektor pertanian dan perkebunan negara ini diharapkan dapat berfokus pada kelestarian lingkungan, peningkatan produktivitas melalui teknologi hijau, dan pengurangan ketergantungan pada impor pupuk kimia. Pedoman yang ada seperti Rencana Strategis Pertanian Nasional 2021-2030 dan Rencana Aksi Minyak Sawit Berkelanjutan Malaysia (MSPO) akan terus menjadi acuan utama dalam mencapai tujuan tersebut.

Secara keseluruhan, potensi penggunaan abu kelapa sawit sebagai pupuk daripada proses insinerator sangat besar dan menjanjikan manfaat ekonomi dan lingkungan yang signifikan. Namun, diperlukan komitmen yang tinggi dari pemerintah, peneliti, dan masyarakat untuk memastikan bahwa teknologi ini berhasil diterapkan secara berkelanjutan dan luas di Malaysia dan dapat ditiru oleh negara lain. (*)