Beranda Pernak Pernik Cerpen: Jakarta, Awal Sebuah Cinta

Cerpen: Jakarta, Awal Sebuah Cinta

6
Cerpen
Foto: Ilustrasi

Cerpen: Setiap pagi, Dina selalu menunggu bus kota di halte dekat rumahnya. Jalanan Jakarta yang padat membuatnya terbiasa berangkat lebih awal agar tidak terlambat sampai kantor. Dia selalu memilih kursi dekat jendela, menikmati pemandangan jalan yang sibuk dengan orang-orang yang berlalu-lalang. Namun, ada satu hal yang tak pernah luput dari perhatiannya: seorang pria yang selalu naik dari halte berikutnya.

Pria itu selalu mengenakan kemeja putih rapi dengan dasi yang terikat sempurna. Rambutnya hitam dan tersisir rapi, wajahnya terlihat serius, tapi ada kehangatan di matanya. Dina sering mencuri pandang ketika pria itu berdiri atau duduk tak jauh darinya. Mereka tak pernah berbicara, namun ada perasaan yang sulit dijelaskan setiap kali mereka bertemu di dalam bus.

Hari-hari terus berjalan, dan pertemuan di dalam bus menjadi rutinitas bagi mereka berdua. Dina mulai memperhatikan hal-hal kecil. Misalnya, pria itu selalu membawa sebuah buku di tangannya, sering kali berganti-ganti setiap minggu. Dina penasaran apa yang dibacanya, tetapi terlalu malu untuk bertanya. Mereka hanya bertukar pandang sesekali, namun setiap tatapan terasa lebih dari sekadar kebetulan.

Suatu pagi, bus yang biasanya Dina naiki terhenti lebih lama di satu halte. Hujan deras mengguyur kota, membuat suasana di dalam bus terasa lebih tenang namun basah oleh percikan air yang masuk. Dina melihat pria itu naik dengan mantel hitam yang sedikit basah oleh hujan. Kali ini, bus lebih penuh dari biasanya, dan pria itu tak mendapatkan tempat duduk. Melihat itu, Dina memberanikan diri untuk berdiri dan menawarkan kursinya.

Baca juga: Misteri Santet di Desa Tertutup

“Kamu bisa duduk di sini,” kata Dina sambil tersenyum canggung.

Pria itu terkejut sejenak, namun kemudian tersenyum balik. “Tidak, tidak perlu. Kamu duduk saja. Aku baik-baik saja berdiri.”

Dina merasa pipinya memanas. “Tidak apa-apa, aku sudah duduk cukup lama.”

Akhirnya, pria itu mengangguk dan duduk di kursi yang Dina tawarkan. Untuk pertama kalinya, mereka saling berbicara. Dina akhirnya tahu bahwa pria itu bernama Arga, seorang pengacara muda yang bekerja di salah satu firma hukum di Jakarta. Pembicaraan ringan pun mengalir tanpa canggung, seolah mereka sudah lama saling mengenal. Dina menceritakan pekerjaannya sebagai desainer grafis, dan mereka tertawa bersama ketika membicarakan betapa sibuknya hidup di Jakarta.

Setiap hari setelah itu, mereka selalu mencari satu sama lain di dalam bus. Kadang Arga yang lebih dulu duduk, kadang Dina. Tak lagi ada jarak diam di antara mereka; pertemuan singkat di bus menjadi momen yang mereka tunggu-tunggu. Mereka berbicara tentang buku, musik, impian, dan kadang hanya diam menikmati perjalanan bersama.

Suatu hari, Arga memberanikan diri untuk mengundang Dina makan malam. Dina menerima dengan senang hati. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di pusat Jakarta, jauh dari hiruk pikuk kota. Malam itu mereka berbicara lebih dalam, tak hanya tentang pekerjaan atau rutinitas, tetapi tentang harapan dan masa depan.

“Aku selalu menunggu momen di dalam bus, karena di sanalah aku bisa bertemu kamu,” kata Arga dengan jujur.

Dina tersenyum, matanya berbinar. “Aku juga. Rasanya, setiap perjalanan jadi lebih berarti.”

Hari-hari berlalu, dan hubungan mereka berkembang dari pertemuan singkat di dalam bus kota menjadi sesuatu yang lebih hangat dan penuh arti. Kini, bus bukan lagi sekadar alat transportasi, tapi tempat di mana cinta mereka bersemi.

Setiap pagi, Dina dan Arga akan tetap bertemu di halte, menaiki bus kota yang sama. Tak ada yang berubah dari rutinitas mereka—kecuali satu hal: kini mereka duduk berdampingan, berbagi tawa dan cerita, melintasi hiruk pikuk Jakarta bersama.

Mereka tahu, di tengah kesibukan kota yang tak pernah tidur, selalu ada ruang kecil di dalam bus kota untuk cinta yang tumbuh perlahan namun pasti. (*)