beritapasundan.com – Istilah Dutch Wife memiliki sejarah panjang yang terkait dengan masa penjajahan Belanda di Indonesia. Dalam konteks kolonial, istilah ini merujuk pada dua hal yang berbeda: pertama, guling berbentuk panjang yang digunakan untuk tidur, dan kedua, wanita pribumi yang dijadikan istri tidak resmi oleh pria Belanda. Fenomena ini berkembang pada abad ke-18 hingga awal abad ke-20, ketika Hindia Belanda masih menjadi bagian dari Kekaisaran Belanda.
Asal-usul Istilah “Dutch Wife”
Secara harfiah, Dutch Wife dapat merujuk pada bantal guling, yang dalam budaya tidur masyarakat Indonesia digunakan sebagai penyangga tubuh saat tidur. Orang Belanda yang tinggal di Nusantara mengadopsi kebiasaan ini dan menyebutnya Dutch Wife (istri Belanda), karena guling dianggap sebagai pengganti kehangatan seorang istri ketika mereka tidur sendirian.
Namun, dalam konteks sosial dan budaya, Dutch Wife juga merujuk pada perempuan pribumi yang menjadi istri tidak resmi atau gundik dari pria Belanda. Perempuan ini sering kali berasal dari latar belakang ekonomi rendah dan dijadikan pasangan sementara bagi pria Eropa yang tinggal di Hindia Belanda.
Baca juga:Â Fakta Unik: Mengapa Lari Selalu Berlawanan Arah Jarum Jam?
Perkembangan Fenomena “Dutch Wife” di Masyarakat Kolonial
Pada abad ke-18 dan 19, jumlah perempuan Eropa yang tinggal di Hindia Belanda sangat terbatas. Karena sulitnya membawa serta pasangan dari Eropa, banyak pria Belanda menjalin hubungan dengan perempuan pribumi sebagai solusi sementara. Hubungan ini biasanya bersifat tidak resmi, tanpa ikatan pernikahan yang sah, tetapi perempuan tersebut sering kali tinggal serumah dan bahkan memiliki anak dari pasangan Belanda mereka.
Sebagian besar perempuan pribumi yang menjadi Dutch Wife berasal dari kalangan pribumi biasa atau bahkan budak yang bekerja di rumah tangga orang Belanda. Mereka sering kali dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga sebelum akhirnya menjalin hubungan lebih dekat dengan majikan mereka. Anak-anak yang lahir dari hubungan ini sering disebut sebagai Indo atau Indo-Eropa, yang kemudian menjadi kelompok sosial tersendiri dalam masyarakat kolonial.
Baca juga:Â Mengenal Incognito Guest Hotel: Definisi, Aturan, dan Cara Reservasi
Dampak Sosial dan Akhir dari Praktik “Dutch Wife”
Fenomena Dutch Wife menciptakan dinamika sosial yang unik di Hindia Belanda. Di satu sisi, hubungan ini memungkinkan adanya perpaduan budaya antara Eropa dan pribumi. Namun, di sisi lain, perempuan pribumi dalam hubungan ini sering kali tidak memiliki hak hukum dan bisa ditinggalkan begitu saja jika pria Belanda tersebut kembali ke Eropa atau menikahi perempuan dari bangsanya sendiri.
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, jumlah perempuan Belanda yang datang ke Hindia Belanda semakin meningkat. Hal ini menyebabkan berkurangnya praktik Dutch Wife, karena pria Eropa mulai menikah dengan perempuan dari latar belakang yang sama. Selain itu, kebijakan kolonial mulai mengatur pernikahan antara orang Eropa dan pribumi, sehingga hubungan yang tidak resmi mulai ditinggalkan.
Kesimpulan
Istilah Dutch Wife dalam sejarah Indonesia memiliki dua makna yang berbeda: sebagai bantal guling dan sebagai perempuan pribumi yang menjadi pasangan tidak resmi pria Belanda di era kolonial. Meskipun fenomena ini memiliki dampak dalam pembentukan masyarakat Indo-Eropa di Hindia Belanda, praktik ini perlahan menghilang seiring dengan perubahan sosial, peningkatan migrasi perempuan Eropa ke Nusantara, dan kebijakan kolonial yang lebih ketat dalam pernikahan antarbangsa.
Sejarah ini menunjukkan bagaimana interaksi budaya dan sosial antara Belanda dan Indonesia pada masa kolonial membentuk dinamika masyarakat yang kompleks dan beragam. (*)